My Blog " Dihya Berty "

My Blog " Dihya Berty "

Senin, 01 April 2013

Nuansa malam di Pantai Pangandaran

Musik dangdut koplo dan disko saling bersahutan di bibir Pantai Pangandaran, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat. Dari kejauhan, suaranya terdengar samar-samar terbawa angin pantai. Bahkan menutupi debur ombak yang biasa terdengar.
Alunan irama yang cukup enak untuk bergoyang ini berasal dari warung remang-remang semi-permanen, di pasar wisata, Jalan Bulak Laut. Kala siang, pasar wisata menjadi tempat pedagang menjajakan pelbagai cenderamata, seperti baju dan kerajinan tangan. Namun bila malam datang, wajah pasar cenderamata akan berganti, menjadi pasar prostitusi. Di waktu malam, warga setempat menyebutnya pasar wanita.
Sekilas, pasar yang berjarak sekitar 200 meter dari bibir pantai ini tidak memiliki kehidupan. Deretan jongko semi-permanen di pinggir jalan pun tertutup terpal. Apalagi tak banyak lampu penerangan di sana. Namun di lorong pasar, setidaknya ada 10 warung remang-remang yang menyajikan musik elektone. Seperti yang Tempo saksikan kala menyelusuri kehidupan malam pasar wanita, akhir pekan lalu.
Kala itu, sejumlah perempuan berderet di depan warung hiburan, rata-rata usianya di bawah 30 tahun. Berbalut baju terusan atau celana sepanjang lima jari dari pangkal paha, penampilan mereka cukup menggoda mata lelaki. Sesekali mereka cekikikan dan berjoget mengikuti lantunan musik. Tidak jarang terdengar teriakan atau ajakan dari para perempuan itu, waktu Tempo melewati deretan kafe. »Mampir dulu, Mas,” begitu cara mereka menyapa.
Tempo sendiri menjatuhkan pilihan beristirahat sejenak di Rubby Cafe. Tak lama, perempuan paruh baya berpotongan rambut calypso menghampiri dan menawarkan menu minuman. Kata si perempuan, ia memiliki banyak minuman. Dari kadar alkohol rendah hingga yang memabukkan.
Perempuan itu tak lama melayani Tempo. Ia langsung kembali menongkrong di luar kafe, sibuk dengan telepon genggamnya yang tak berhenti berdering. »Itu si Mamah yang punya tempat ini,” kata seorang lelaki, pramusaji.
Sesekali si Mamah kembali menyapa tamu yang tengah menikmati minuman. Dia juga menawarkan pengunjungnya, apakah ingin ditemani seorang perempuan atau tidak. »Mau ditemenenin sama anak-anak Mamah?” ujarnya sambil melambaikan tangan ke perempuan-perempuan berpenampilan seksi.
Dua perempuan belia, sekitar 24 tahun, menghampiri Tempo. Tania dan Melinda, nama yang mereka perkenalkan. Mengaku telah bekerja selama satu tahun, keduanya telah menjalani berbagai lika-liku kehidupan malam. Tania mengaku hanya bekerja selama empat hari dalam seminggu, sedangkan Melinda hampir tiap hari bekerja.
»Tugas saya hanya menemani pengunjung minum, bernyayi atau joget bersama,” kata Tania. »Tarif yang dipatok Rp 50 ribu, tapi ada saweran dari pengunjung yang mengajak bernyayi dan berjoget.”
Kata perempuan asal Tasikmalaya ini, semua gadis di warung remang-remang akan memberikan layanan yang memuaskan bagi tamu. Mereka juga bersedia memberikan layanan tambahan di tempat tidur. Asal ada kesepakatan tarif. »Harga semalam dipatok Rp 600 ribu, untuk sekali main atau short time tarifnya Rp 200-300 ribu.”
Bila harga sudah deal, Tania tak bisa melenggang pergi begitu dengan pelanggannya. Dia akan akan diantarkan ke kamar hotel dengan sepeda motor yang sudah disediakan si mamah. Sementara lelaki pemesan mengikutinya dari belakang, dengan kendaraan berbeda. Soal virus HIV/AIDS, Tania tidak takut. Sebab ia kerap membawa kondom tiap bekerja. »Sebulan sekali saya periksa ke dokter juga,” kata dia.
Kata Melinda, dari pekerjaan ini ia dapat meraup penghasilan minimal Rp 5 juta per bulan. Besar atau kecilnya pendapatan itu sendiri bergantung tingkat kunjungan wisatawan ke Pangandaran. »Orang datang ke Pangandaran untuk buang duit. Selain wisata alam, wisata seks juga,” kata penduduk Ciamis ini.
Dulu, Melinda sempat bekerja di tempat karaoke, di Tasikmalaya dan Bandung. Namun ia tak betah di sana. Apalagi kerap terjaring razia. »Kalau di sini aman, yang jaganya juga dari polisi,” ujar dia.
Kehidupan malam di Pangandaran ini tidak pernah sepi. Para lelaki hidung belang yang datang untuk mencari hiburan satu malam ini kebanyakan dari luar kota seperti Bandung dan Jakarta. Apalagi bila memasuki hari libur, hampir setiap parkir tempat hiburan ini dipenuhi kendaraan pengunjung. Jam operasi warung remang-remang ini yaitu pukul 19.00-02.00 WIB.
Pemesanan teman wanita ini juga bisa dilakukan lewat muncikari lepas yang biasa menongkrong di sekitar pasar. Selanjutnya, mereka akan membawakan perempuan pesanan ke kamar hotel. »Bila cocok langsung saja transaksi di kamar, kalau tidak cocok diganti yang lain,” ujar Herman, penjaga penginapan yang kerap menjadi tempat cinta satu malam. »Ongkos untuk muncikari Rp 50-100 ribu.
Contoh Feature Narasi
Sumber : http://id.berita.yahoo.com/wajah-wisata-pantai-pangandaran-kala-malam-080738513.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar