Musik dangdut koplo dan disko saling bersahutan di bibir Pantai
Pangandaran, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat. Dari kejauhan, suaranya terdengar
samar-samar terbawa angin pantai. Bahkan menutupi debur ombak yang biasa
terdengar.
Alunan irama yang cukup enak untuk bergoyang ini berasal dari warung
remang-remang semi-permanen, di pasar wisata, Jalan Bulak Laut. Kala siang,
pasar wisata menjadi tempat pedagang menjajakan pelbagai cenderamata, seperti
baju dan kerajinan tangan. Namun bila malam datang, wajah pasar cenderamata
akan berganti, menjadi pasar prostitusi. Di waktu malam, warga setempat
menyebutnya pasar wanita.
Sekilas, pasar yang berjarak sekitar 200 meter dari bibir pantai ini tidak
memiliki kehidupan. Deretan jongko semi-permanen di pinggir jalan pun tertutup
terpal. Apalagi tak banyak lampu penerangan di sana. Namun di lorong pasar,
setidaknya ada 10 warung remang-remang yang menyajikan musik elektone. Seperti
yang Tempo saksikan kala menyelusuri kehidupan malam pasar wanita, akhir pekan
lalu.
Kala itu, sejumlah perempuan berderet di depan warung hiburan, rata-rata
usianya di bawah 30 tahun. Berbalut baju terusan atau celana sepanjang lima
jari dari pangkal paha, penampilan mereka cukup menggoda mata lelaki. Sesekali
mereka cekikikan dan berjoget mengikuti lantunan musik. Tidak jarang terdengar
teriakan atau ajakan dari para perempuan itu, waktu Tempo melewati deretan
kafe. »Mampir dulu, Mas,” begitu cara mereka menyapa.
Tempo sendiri menjatuhkan pilihan beristirahat sejenak di Rubby Cafe. Tak
lama, perempuan paruh baya berpotongan rambut calypso menghampiri dan
menawarkan menu minuman. Kata si perempuan, ia memiliki banyak minuman. Dari
kadar alkohol rendah hingga yang memabukkan.
Perempuan itu tak lama melayani Tempo. Ia langsung kembali menongkrong di
luar kafe, sibuk dengan telepon genggamnya yang tak berhenti berdering. »Itu si
Mamah yang punya tempat ini,” kata seorang lelaki, pramusaji.
Sesekali si Mamah kembali menyapa tamu yang tengah menikmati minuman. Dia
juga menawarkan pengunjungnya, apakah ingin ditemani seorang perempuan atau
tidak. »Mau ditemenenin sama anak-anak Mamah?” ujarnya sambil melambaikan
tangan ke perempuan-perempuan berpenampilan seksi.
Dua perempuan belia, sekitar 24 tahun, menghampiri Tempo. Tania dan Melinda,
nama yang mereka perkenalkan. Mengaku telah bekerja selama satu tahun, keduanya
telah menjalani berbagai lika-liku kehidupan malam. Tania mengaku hanya bekerja
selama empat hari dalam seminggu, sedangkan Melinda hampir tiap hari bekerja.
»Tugas saya hanya menemani pengunjung minum, bernyayi atau joget bersama,”
kata Tania. »Tarif yang dipatok Rp 50 ribu, tapi ada saweran dari pengunjung
yang mengajak bernyayi dan berjoget.”
Kata perempuan asal Tasikmalaya ini, semua gadis di warung remang-remang
akan memberikan layanan yang memuaskan bagi tamu. Mereka juga bersedia
memberikan layanan tambahan di tempat tidur. Asal ada kesepakatan tarif. »Harga
semalam dipatok Rp 600 ribu, untuk sekali main atau short time tarifnya Rp
200-300 ribu.”
Bila harga sudah deal, Tania tak bisa melenggang pergi begitu dengan
pelanggannya. Dia akan akan diantarkan ke kamar hotel dengan sepeda motor yang
sudah disediakan si mamah. Sementara lelaki pemesan mengikutinya dari belakang,
dengan kendaraan berbeda. Soal virus HIV/AIDS, Tania tidak takut. Sebab ia
kerap membawa kondom tiap bekerja. »Sebulan sekali saya periksa ke dokter
juga,” kata dia.
Kata Melinda, dari pekerjaan ini ia dapat meraup penghasilan minimal Rp 5
juta per bulan. Besar atau kecilnya pendapatan itu sendiri bergantung tingkat
kunjungan wisatawan ke Pangandaran. »Orang datang ke Pangandaran untuk buang
duit. Selain wisata alam, wisata seks juga,” kata penduduk Ciamis ini.
Dulu, Melinda sempat bekerja di tempat karaoke, di Tasikmalaya dan Bandung.
Namun ia tak betah di sana. Apalagi kerap terjaring razia. »Kalau di sini aman,
yang jaganya juga dari polisi,” ujar dia.
Kehidupan malam di Pangandaran ini tidak pernah sepi. Para lelaki hidung
belang yang datang untuk mencari hiburan satu malam ini kebanyakan dari luar
kota seperti Bandung dan Jakarta. Apalagi bila memasuki hari libur, hampir
setiap parkir tempat hiburan ini dipenuhi kendaraan pengunjung. Jam operasi
warung remang-remang ini yaitu pukul 19.00-02.00 WIB.
Pemesanan teman wanita ini juga bisa dilakukan lewat muncikari lepas yang
biasa menongkrong di sekitar pasar. Selanjutnya, mereka akan membawakan
perempuan pesanan ke kamar hotel. »Bila cocok langsung saja transaksi di kamar,
kalau tidak cocok diganti yang lain,” ujar Herman, penjaga penginapan yang
kerap menjadi tempat cinta satu malam. »Ongkos untuk muncikari Rp 50-100 ribu.
Contoh Feature Narasi
Sumber : http://id.berita.yahoo.com/wajah-wisata-pantai-pangandaran-kala-malam-080738513.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar