My Blog " Dihya Berty "

My Blog " Dihya Berty "

Sabtu, 03 Maret 2012

Feature Ka' Fahri salam


Filosofi Investigatif

KELAS dibuka dengan perkenalan oleh Andreas Harsono selaku moderator. Dia mengawali dengan kontrak belajar, misalnya larangan merokok bagi para peserta dan pengampu di ruangan kelas. Dia juga mengenalkan George Junus Aditjondro, duduk di sofa di sampingnya, sebagai fasilitator kursus.
Peserta kemudian mendapat giliran mengenalkan satu demi satu. Mereka juga menceritakan alasan atau motivasi serta harapan ikutan kursus ini. Aditjondoro memperhatikan setiap peserta sembari melihat lembaran kertas yang dipegangnya, berisi daftar nama mereka.
Jumlah peserta ada 21 orang. Mereka datang dari beragam etnik, ras, kebangsaan, serta ragam profesi. Namun jika digabungkan ada setengah dari mereka sehari-hari bekerja sebagai jurnalis, dan setengahnya lagi sebagai aktivis. Jumlah sedikit lagi ada yang berprofesi sebagai periset di sebuah lembaga polling plus satu pegawai company swasta. Uniknya, ada juga suster dari Konferensi Waligereja Indonesia, yang konsen pada pendampingan korban di daerah konflik. Perbandingan gender antara laki-laki dan perempuan, 11:10
Usai perkenalan, Harsono memberi kesan mengenai Aditjondro. Ini mentornya sejak di Salatiga, bersama-sama melawan kejahatan negara atas pembangunan Waduk Kedungombo pada akhir 80an. Dana pembangunan waduk dari World Bank, yang telah menghancurkan dan merendam lahan-lahan permukiman serta penghidupan warga sekitar waduk.
Aditjondro lahir dari keluarga pamong di masa Hindia Belanda, tinggal bepindah tempat sesuai perintah tugas ayahnya. Masa kecilnya tinggal di Pontianak, pernah juga di Belanda. Namanya gabungan dari tiga identitas: Barat, Jawa, Hindu. Dia tipe hibrida yang kelak, setelah besar, bepergian melakukan avontur sebagai akademisi, investigator dan aktivis.
Sesi ini dimulai dengan pertanyaan oleh Aditjondro: apa beda dan persamaan aktivis dan jurnalis?
Pertanyaan ini untuk mencari satu konsensus atau persamaan atau satu visi antar-peserta. Aditjondro sendiri menyebutnya “filosofi”. Latar belakang peserta yang beragam tentu memperkaya isi diskusi dalam kelas tapi juga, bila dibiarkan dan tanpa koridor, ia akan memberi kesenjangan.
Aditjondro lantas memberi catatan di papan tulis, kata-kata kunci untuk seorang aktivis maupun jurnalis:
  • Empati
  • Objektivitas versus subjektivitas
  • Hubungan emosional
  • Lamanya meliput/ mendampingi suatu komunitas
  • Sikap kritis
  • Cabal, sindikat atau oligarki atau, dalam metafora yang dikenalkan kemudian dalam bukunya, “gurita.”
Hasil ini muncul dari pendapat peserta. Aditjondro juga memaparkan pengalamannya sebagai jurnalis di Majalah Tempo selama 10 tahun. Dia pernah bertugas di Borneo. Minat utamanya pada isu lingkungan. Tapi media mengenal deadline. Ada tenggat waktu yang tak bisa ditolak untuk sebuah penerbitan, dari hari ke hari, minggu ke minggu. Ini membuat jurnalis selalu pindah isu, kadang-kadang pindah tempat liputan. Ada sistem rolling. Pindah desk atau rubrik. Ini kadang-kadang membuat jurnalis tak banyak melakukan pendalaman terhadap isu tertentu. Ada perumpamaan wartawa adalah jenis profesi yang “tahu banyak hal tapi tak mendalam.”
Kadang-kadang, karena mereka segera berpaling pada isu lain, mereka melupakan subjek liputan sebelumnya. Ini kadang-kadang membuat subjek, terutama kaum lemah dan marjinal, memandang wartawan “hanya memanfaatkan mereka” untuk kepentingan media dan pada gilirannya kesejahteraan wartawan itu sendiri. Ada sinisme yang termekanikal dari pernyataan ini.
Inilah salah satu alasan mengapa Adijondro memutuskan menanggalkan profesi jurnalis. Dari kisah empiriknya, dia lantas bekerja di sebuah lembaga pengembangan masyarakat desa, milik institusi keagamaan gereja, di Papua. Sejak itu dia mulai mengembangkan apa yang kemudian dikenal dalam istilah ilmu sosial baru sebagai “penelitian emansipatoris.” Ini mengandung pengertian di mana si peneliti terlibat dengan komunitas, subjek penelitiannya, dan seringnya juga melakukan pendampingan atau advokasi.
Bagi dunia aktivisme, hal ini bukan barang baru, malahan dalam banyak contoh, penelitian emansipatoris menjadi pegangan mereka dalam bekerja. Namun bagaimana dengan seorang wartawan?
Ada pandangan bahwa wartawan harus “objektif.” Teorinya, makin objektif maka makin si wartawan mendekati apa yang disebut “kebenaran.” Ini pandangan yang ekuivalen dengan dogma positivistik yang melanda dunia pemikiran Eropa waktu itu. Pandangan positivisme juga mengubah newsroom dimana ada hukum baku penulisan berita yang disebut “piramida terbalik”. Makin penting diletakkan di kepala tulisan dan yang kurang penting mengikuti di belakangnya. Hal ini sering disebut pula “straight news” atau berita lempang.
Namun pandangan ini sudah terlampau kuno. Ia juga dibilang terlalu naif. Wartawan memiliki beragam background, dari etniknya, agamanya, kewarganegaraannya, pendidikannya, dan sebagainya. Tentu ini sedikit banyak mempengaruhi si wartawan dalam menafsirkan “kebenaran” yang berbeda-beda. Kebenaran menurut siapa?
Bill Kovach dan Tom Rosenstiel, dua pemikir jurnalisme dari Amerika Serikat, dalam buku The Elements of Journalism menerangkan bahwa masyarakat butuh prosedur dan proses guna mendapatkan apa yang disebut “kebenaran fungsional.” Bukan kebenaran dalam tataran filosofis. Tapi kebenaran dalam tataran fungsional. Orang butuh informasi lalu-lintas agar bisa mengambil rute yang lancar. Orang butuh informasi harga, kurs mata uang, ramalan cuaca, hasil pertandingan bola dan sebagainya.
Hal yang lebih penting dari debat objektivitas versus subjektivitas adalah apa yang disebut dalam buku tersebut “disiplin dalam melakukan verifikasi.” Verifikasi menyaring setiap gosip, desas-desus demi mendapatkan “informasi yang akurat.” Ini yang membedakan jurnalisme dengan hiburan, propaganda, dan fiksi.
Jadi tekanannya pada verifikasi. Pengertian objektivitas sendiri malahan sering kali membingungkan. Ada banyak pandangan dipakai oleh media di Jakarta dan luar Jawa soal “wartawan harus objektif.” Pilihannya, mereka menggunakan “objektivitas” sebagai tujuan. Apa yang disebut “cover-both-side” dijadikan pegangan, seakan-akan jika kita sudah memberi ruangan yang cukup bagi kedua belah pihak, kita sudah dianggap “objektif.” Namun isi berita semacam ini sering kali membuat bingung audiens.
Objektivitas adalah dispilin dalam melakukan verifikasi. Metode jurnalisme bisa objektif. Tapi objektivitas bukanlah menjadi tujuan.
Dalam kelas, Aditjondro mengenalkan istilah “inter-subjektivitas.” Kita bisa bersikap subjektif, namun upaya ini tak jatuh pada kurangnya pemahaman si peneliti terhadap subjek yang tengah diteliti. Upaya ini sebagai bentuk pemahaman kemanusiaan dalam diri si peneliti. Mungkin, dalam bahasa sederhananya, kita mengandalkan intuisi humanitas kita pada subjek tersebut, terutama golongan kaum lemah dan terpinggirkan secara struktural, atas isu penelitian yang sedang kita geluti.
Namun seorang peneliti, penulis, dan jurnalis juga perlu dibekali prinsip objektivitas dimana berguna sekali demi mengupayakan akurasi. Data-data berupa angka, grafik, ketepatan memilah urutan sumber, bersikap terbuka, dan lain sebagainya, sangat diperlukan untuk menopang usaha kita dalam peliputan dan penelitian.
Aditjondro bertanya, misalnya, “Apakah lamanya orang tinggal di Papua akan memberinya fakta bahwa di sana terjadi pelanggaran-pelanggaran HAM?” Pelanggaran HAM umumnya bersifat tertutup, ujar Aditjondro. Namun sebagai jurnalis, Anda biasanya hanya tinggal sementara di satu tempat dan tak bisa melihat fakta terselubung ini. Hal ini pula yang bisa membedakan jurnalis, terlebih yang datang dari Jakarta, saat mereka meliput ke Papua.
Intinya, dibutuhkan usaha lebih serius lagi dari sekadar datang dan melihat. Perlu referensi, riset terukur, dan lain sebagainya.
Delima Silalahi dari Medan menilai ada hubungan “saling menguntungkan” atau “saling memanfaatkan” antara jurnalis dan aktivis. Dia menceritakan soal pelanggaran kemanusiaan dalam proyek Indorayon (sekarang ganti nama PT Toba Pulp Lestari). Wartawan-wartawan lokal gampang sekali dibayar, ujar Silalahi. Mereka diundang di sebuah hotel oleh PR korporasi, yang bekerja canggih dan tahu bagaimana menutupi masalah, lantas membagi-bagi amplop dengan permintaan agar masalah dari korporasinya tak masuk berita.
Namun para aktivis akhirnya bisa mengenal sendiri mana wartawan atau media yang masih punya “hati nurani” dan mana yang sudah dibeli. Biasanya media-media nasional (dari Jakarta, maksudnya), karena kebijakan keras dari kantor mereka yang melarang “budaya amplop”, bisa lebih dipercaya. Mereka bisa menurunkan berita tentang pelanggaran-pelanggaran korporasi ini.
Kelemahan aktivis adalah sangat susah mengakses pintu korporasi. Sementara wartawan bisa lebih mudah. Dari sinilah mereka saling memberi informasi; aktivis bisa memberi data-data dari lapangan, adapun wartawan dari mulut korporasi. Ini yang disebut Silalahi “simbiosis mutualisme.”
Aditjondro menyinggung pula soal korporasi media televisi MetroTV dan TVOne, mengingat ada tiga peserta dari media ini yang ikut dalam kursus . Dia bilang, saat “saya diwawancara TVOne,” saya diingatkan agar tak menyinggung Bakrie atau kalaupun menyebut, terutama untuk kaitan dengan kasus lumpur Lapindo, ini akan diedit. “Seakan-akan menyebut nama itu merupakan kata jorok.” Begitu pula dengan MetroTV, yang tak boleh “saya singgung bisnis-bisnis Surya Paloh”.
Korporasi media, yang berjejaring pada perusahaan-perusahaan (dan di Indonesia ada banyak perusahaan kotor), membuat jurnalis kadang-kadang tak bisa independen terhadap diri mereka sendiri dan terhadap subjek liputan atau komunitas.
Wensislaus Fatubun dari Papua cerita soal hubungan korporasi dengan gereja atau lembaga agama. “Para pendeta bisa dibeli,” dia bilang. Dia mencontohkan perkebunana kelapa saawit milik suatu korporasi di Jakarta yang membeli suara gereja sebagai jaminan bebas penentangan dari masyarakat sekitar perkebunan.
Aditjondro juga menyinggung suara kaum ulama, terutama kalangan nahdliyin di Jawa Timur, yang menutup mata terhadap lumpur Lapindo. Rupa-rupanya ada koneksi bisnis di tingkat petinggi ulama dengan korporasi Lapindo, yang akhirnya membungkam suara kritis kaum ulama.
Padahal, mengukur upaya investigasi, tak cuma soal besarnya dana yang digelapkan, atau upaya negara menutup-nutupi kesalahannya, tapi juga “kita diingatkan agar mendengarkan kaum yang paling lemah” yang menjadi korban dari masalah tersebut.
Contoh dari skandal Bank Century: bagaimana nasib nasabah-nasabah kecil yang memiliki tabungan di BC di bawah 1 Milyar, misalnya?
Bagaimana nasib para nelayan, golongan ekonomi rentan, yang dirugikan kebijakan kenaikan BBM pemerintahan Yudhoyono lalu?
Oligarki, yang akan dibahas lebih panjang dalam sesi kedua, juga disinggung dalam diskusi ini. Kini dunia usaha mengenal diversifikasi, money laundry, para koruptornya bisa melenggang bebas ke sebuah negara yang tak punya perjanjian ekstradisi. Praktik akuisisi, diversifikasi, serta istilah-istilah ekonomi untuk merujuk “kembang-biak” bisnis melahirkan kerumitan tersendiri bagaimana kita meliput suatu kerajaan bisnis.
Intinya, menurut Aditjondro, filosofi investigasi tidak hanya dilihat sebagai hal-hal teknis, serta sebagai usaha menegakkan kebenaran, tapi, meminjam Foucault, “mengangkat pengetahuan-pengetahuan yang tertindas.” Ia juga suatu rangkaian “nafas panjang” dalam upaya mengumpulkan database sebagai pekerjaan yang tidak berkesudahan. Ini juga berarti memelihara jaringan informasi atau whistle blowers.
Dalam pekerjaan investigasi, tiga hal inilah yang membantu para investigator melakukan penyelidikannya. Aditjondro menyebutnya: teologi anti-korupsi. *
Disclosure:
Catatan ringkas dari diskusi pembuka kelas Peliputan Investigasi oleh Yayasan Pantau, Januari 2010. Hermien Y Kleden dari Tempo mengampu kelas ini selain Junus Aditjondro. Yanuar Rizky dan Otto Syamsudin Ishak bicara sebagai pengajar tamu tentang ekonomi makro dan pelanggaran HAM di Aceh.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar